Titi Kolo Mongso, saya bertemu seorang sarjana fresh graduate. Ia adalah lulusan pakultas ekonomi universitas swasta terkemuka –mahal- di ibukota. Kami berbincang-bincang dengan sangat intens hingga serius, bahkan krusial. Kiranya topik yang kami bicarakan sudah barang tentu dapat ditebak. Ya, pembicaraan yang memang krusial menurut saya.
Bahwasannya masa kuliahnya selama 8 semester telah membawanya menjadi seorang berpendidikan dan terdidik tentunya. Kini dengan bangganya ia menyandang gelar Sarjana Ekonomi. Yang lebih fantastis, ia lulus dengan IPK 3,77! Namun, kebanggaannya bukanlah berarti segalanya dalam hidupnya. Masa perjuangan saat kuliah ; pulang-pergi setiap harinya demi kuliah, energi, pikiran, waktu, biaya uang dan kesempatan yang telah ia keluarkan segalanya saat itu kini terasa lenyap tak berbekas, hampa penuh penyesalan, membawanya kepada ketidaktahuan yang nyata.
Bahwasannya ia tak tahu kini harus berbuat apa. Sudah di 14 perusahaan ia melamar pekerjaan, namun satupun dari perusahaan tersebut tak menerimanya. Entah mengapa, padahal ia terkenal kutu buku, pelanggan utama perpustakaan, jawara di setiap mata kuliah, bahkan sumber contekan terpercaya teman-temannya. Ironis. Mungkin karena 14 itu angka sial.
Bahwasannya proses interviewlah yang menurutnya telah membuatnya gagal pada setiap lamarannya. Ia mengakui sulit berbicara, menjawab, menjual kata-kata dihadapan interviewer. Ia merasa kurang cukup pengalaman untuk berkomunikasi. Satu point yang baik ketika ia menyadari kelemahannya. Menurut saya hal ini biasa saja. Maksud saya biasa terjadi pada mahasiswa “kepinteran” yaitu pandai meganalisis - sulit beraksi, pandai membaca - sulit bicara, pandai mengajari – dan sulit baginya untuk “merasa diajari”.
Kisah diatas membawa saya kepada sebuah pertanyaan. Yaitu apa yang bisa dilakukan untuk maksimal di bangku perkuliahan dan kehidupan yang baik setelah lulus? Saya lebih condong kepada ide berwirausaha, berdagang, berjualan saat kuliah, saat menjadi mahasiswa. Tentunya hal ini menjadi pilihan ngaco saya setelah mempertimbangkan dua hal. Pertama, berorganisasi yang hanya menjebloskan IPK ke liang lahat, mempertumpul otak dan melestarikan budaya korupsi. Kedua, magang (kerja sambilan) yang hanya memakan energi dan pikiran lebih, serta menumbuhkembangkan sifat rendah diri dan pesimistis.
Berbeda dengan sebagian orang disana, “berdagang” saat kuliah (karena terlalu mini untuk dikatakan dengan redaksi “bisnis”) bagi saya bukanlah mata pencaharian. Mengingat saya telah memiliki mata pencaharian lain untuk sekedar makan, bensin, rokok, dan fotokopi makalah. Satu hal yang pasti, bukanlah “sedekah” (red) dari orang tua yang saya jadikan mata pencaharian. Menurut saya, berdagang saat kuliah adalah sarana mencari pengalaman. Berinteraksi dengan orang banyak, menghadapi konsumen galak/rewel/aneh/lebay/ngondek, mengetahui pasar dan pangsanya, belajar rendah hati, berkata-kata, berkomitmen, dan sebagainya.
Namun, dibalik semua ini, ada beberapa kontroversi dan dilema kontradiktif yang terspekulasi disekitar kita. Bahwasannya mahasiswa pintar hingga kepintaran adalah calon manusia gagal. Data dari pikiran ngawur saya berkesimpulan bahwa penyebabnya adalah terlalu banyaknya pertimbangan dan analisis dalam hidupnya, sulitnya bekerjasama, memberi kepercayaan dan wewenang kepada orang, dan proyeksi berlebihan dan sesat yang membawanya kepada ketidakpercayadirian dan ketakutan besar akan kegagalan. Semua ini adalah sebab dari berlebihannya kepintaran akademis dan logika yang dimilikinya.
Bahwasannya pula dikatakan mahasiswa bodoh hingga kurang pintar adalah calon pebisnis sukses. Masih dari pikiran ngawur saya, penyebabnya adalah kekurangpintaran di sisi akademis yang memaksanya untuk berbisnis, tidak banyaknya opsi dan ide bisnis yang bergentayangan di pikirannya, IP dan IPK kurang besar yang melatihnya untuk tidak minder saat jatuh dari bisnisnya.
Dua hal diatas hanyalah sebatas provokasi nyeleneh dari pikiran saya yang hanya akan membuat anda bingung, mengurut dada dan gelenggeleng kepala setelah membacanya. Sebagai cooling down saya ingin katakan dua hal lagi yang tentunya semakin ngawur. Pertama, berdaganglah sambil kuliah untuk meminimalisir terjadinya hal seperti kisah di awal. Karena kurangnya pengalaman untuk seorang sarjana semakin memperjelas kesuraman dan kegagalan di masa depan. Kedua, janganlah anda berdagang sambil kuliah untuk menghindari kegagalan di dua masa, yaitu masa kuliah hingga masa depan. Karena bukankah hidup ini butuh konsentrasi, fokus? Dan bukankah serabutan itu hasilnya tidak maksimal?
Lalu, apa yang bisa dipetik dari tulisan ngawur ini? Jawabannya adalah Titi Kolo Mongso (Titi kolo Mongso = Pada Suatu Ketika). -Mas Bambang Simanjuntak-