Selasa, 25 Oktober 2011

Menyoal Mahasiswa Perokok ; Reputasi dan Uang yang 'Tergadai'

Asap itu kian tebal. Menari-nari diudara seiring dengan mengawang-awangnya pikiran, imajinasi, khayalan, dan inspirasinya. Hisapannya semakin dalam. Hisapan yang khas ala perokok dan sesempurnanya tarikan nafas. Tiupannya beragam. Ke atas berarti sedang bahagia dan selesai dari satu pekerjaan. Ke bawah berarti sedang berfikir keras dan atau bersedih. Mendatar berarti belum sarapan. Ke samping berarti sedang mencari solusi atau menghormati kolega sebelah. Jari-jarinya semakin terampil, bibirnya semakin hitam. Satu hal yang tidak disadarinya, predikatnya sebagai mahasaiswa, predikatnya sebagai kaum berpendidikan.

Ada kontradiksi mendalam. Rokok dan perokok memiliki reputasi buruk, terutama yang terjadi pada kalangan berpendidikan. Cerminannya ada pada kode etik mahasiswa dan dosen, contohnya. Dimana rokok adalah hal yang terlarang di kampus, di fakultas, terlebih di kelas. Tidak pantas rokok dan perokok mengotori kampus, fakultas, terlebih kelas, begitulah anggapannya selama ini.

Ada lagi anggapan negatifnya. Bukan lagi kesehatan yang sudah “tidak mempan” untuk “menakut-nakuti” para mahasiswa perokok. Kebiasaan buruk yang membawa sugesti yang seakan bermuatan positif. Penghromatan dan penghargaannya kepada orang-orang sekelilingnya seakan ia nafikan, hanya demi sebatang rokok. Terlebih kehormatan dan reputasinya sendiri. Ia nafikan pula kesetiaan hati pacarnya demi memuaskan dirinya sendiri hanya dengan rokok. Pacarnya ia biarkan kecewa dengan perilaku merokoknya.

Ada lagi satu hal yang amat kasap mata dan rasional. Rupiah demi rupiah ia keluarkan hanya untuk mendapatkan rokok. Uang jajan yang sebenarnya orang tuanya berikan untuk makan, minum, fotokopi dan bensin, ia hamburkan untuk membeli rokok. Tentunya bukan ini yang orangtuanya harapkan. Bayangkan, jika Rp 12.000 sehari ia manfaatkan untuk hal lainnya, tentunya akan lebih bermakna dan berbekas rasanya. Terlebih jika ia tabungkan selama sebulan, ia jadikan uang iddle, niscaya hampir setengah juta rupiah ia dapat kumpulkan per bulannya. Enam bulan, ia sudah mampu membeli laptop dengan uangnya sendiri. Dua tahun, ia telah mampu membeli motor hanya dengan menyisihkan uang jajannya. Angka-angka yang fantastis dan rasional. Satu hal yang pasti, mustahil baginya kekurangan uang, tiris, minim dan bokek jika ia tidak merokok.

Tidaklah terburu-buru dan menafikan sisi lainnya. Adanya kemelut finansial ini hanya akan terjadi pada mahasiswa perokok yang masih menerima “sedekah” dari kedua orang tuanya. Sikapnya dianggap tidak etis dan keji, ketika ia mengkhianati orang tua mereka dengan rokok. Memang, saya sendiri mengatakan tidak pantas dan tidak tahu diri.

Namun jika merokok dilakukan  oleh mahasiswa berpenghasilan, ini tidak menjadi persoalan. Terutama bagi mereka yang orang tuanya memberi kebebasan anaknya untuk merokok atau tidak. Hal ini terjadi pada saya. Ya, saya berpenghasilan dan saya merokok dari pengahasilan saya, bukan dari sedekah orang tua. Menarik bukan?

Selain anggapan negatif dan kemelut mahasiswa perokok, ada lagi sisi positif yang patut dilihat. Selama ini rokok yang dikatakan merusak paru-paru itu dianggap memiliki kekuatan dan energi tersendiri bagi kesegaran fikiran, kejernihannya, inspirasi brilian dan dalam hal perencanaan langkah. Hal ini benar adanya, tanpa direkayasa dan didramatisir seperti yang dilakukan penulis-penulis lainnya.

Rokok juga dapat menjadi penghubung silaturahmi yang paten untuk kalangan masyarakat tingkat ekonomi manapun, termasuk mahasiswa. Perkumpulan dan majelis apapun akan menjadi lebih cair dan intens dengan kehadiran rokok, dan tentunya perokok. Rokok juga dapat membangkitkan semangat hidup, sekarang maupun yang akan datang. Masih banyak yang lainya. Kedewasaan berfikir, kepercayadirian, dan kebijaksanaan menjadi hal diantaranya.

Ada satu hal yang luput dari reputasi buruk rokok dan perokok. Kiranya tidak sedikit perokok yang hidup bahagia, sukses dan melahirkan karya-karya brilian. Sebut saja Barrack Obama, Antasari Azhar, Musthofa Bisri,  Nudirman Munir, bahkan Nadratuzzaman, mereka adalah tokoh-tokoh yang merokok. Rokok tidak berimpilikasi buruk terhadap reputasi, kekayaan dan jabatan.

Satu lagi soal reputasi, citra dan pandangan publik. Itu kan hanya anggapan dan persepsi saja. Sadarkah ketika kita menonton berita di TV, berita-berita itu sangatlah sarat akan muatan persepsi dan spekulasi. Tidak ada persoalan tentang reputasi dan citra. Sama saja seperti spekulasi dan gosip yang terjadi secara makro.  Tidak juga mahasiswa yang tidak merokok lebih baik daripada mahasiswa perokok. Bukan begitu? –Mas Bambang Simanjuntak-

Burung Pastor vs Kont0l Pastor



Terjadi pada seorang pastor, yang berasal dari Timor dan bahasa Indonesianya masih kacau.

         Karena punya banyak waktu senggang ,di salurkan dengan melakukan hobi memelihara burung, ada banyak dan bermacam macam jenisnya. Pada suatu pagi, di temukan oleh si pastor burungnya hilang semua. Merasa ulah si maling udah keterlaluan, si pastor berencana akan membawa masalah ini di kotbah minggu.

 Pas kebaktian minggu, setelah berkotbah panjang lebar soal moral dan sepuluh perintah tuhan dengan penekanan pada perintah "jangan mencuri" Si pastor bertanya "siapa yang punya burung?"

Seluruh jemaat laki laki segera berdiri.

Menyadari kesalahannya dalam cara bertanya si pastor buru-buru berkata "bukan itu maksud saya" dan dilanjutkan dengan pertanyaan "maksud saya adalah, siapa yang pernah lihat burung?"

Seluruh jemaat wanita berdiri.

Karena si pastor sadar pertanyaannya makin tidak pas, dengan muka merah dia berkata lagi "maaf, bukan itu maksud pertanyaan saya" dan dilanjutkan "maksud saya adalah siapa yang pernah lihat burung bukan miliknya"

Separuh jemaat wanita berdiri.

Muka si pastor makin merah, dan juga makin gugup, segera berkata lagi "maaf sekali lagi, bukan ke arah situ pertanyaan saya, maksud saya adalah, siapa yang pernah lihat burung saya?"

Segera saja semua suster segera berdiri.